Fenomena Pilkada Indonesia tetaplah fenomena bungkus kacang, yakni soal bagaimana membungkus figur, mengemas calon dengan rambu-rambu primordial.
Meskipun partai-partai yang sebelumnya terlihat eksklusif kini mulai mencoba bernuansa inklusif, namun wajah primordial ini masih kuat. Mereka mengemas diri sedemikian rupa dalam dandanan nasionalis, agamis, nalionalis-religius, nahdliyin, santri kota, abangan atau apapun. Strategi pemasarannya, salah satunya dengan mencoba merangkul semua kelompok
Janji-janji kampanye yang disampaikan cenderung bombastis, misalnya menggratiskan biaya kesehatan, bebas biaya pendidikan, menggaji ketua RT dan RW dll.
Di Jateng khususnya, orang tinggal memasukkan semua kandidat dalam kelompok mana; pesisir atau pedalaman, orang utara atau selatan, santri atau abangan, muslim modernis atau tradisional, atau batasan primordial lain.
Belum ada calon yang berbicara cerdas dan aplikatif tentang nilai-nilai yang bisa dipakai bersama, misalnya bagaimana meningkatkan disiplin pegawai, meningkatkan kesejahteraan petani, menumbuhkan kewirausahaan atau mengatasi PKL. Di banyak negara maju, isu kampanye berkisar antara persoalan lingkungan, imigran gelap, persenjataan, pengelolaan pajak dll. Semestinya di negara yang tengah kesulitan seperti Indonesia, isu yang dibawa adalah isu pemberdayaan, isu persatuan dan solidaritas. Retorika mengentaskan kemiskinan saja tidak cukup dan perlu diikuti dengan strategi dan contoh nyata.
Maka tidak heran jika rakyat banyak yang kurang peduli terhadap Pilkada. Tidak pula heran jika warga yang tidak menggunakan hak pilihnya lebih dari sepertiga dalam Pilkada Jabar dan Sumut. Bisa jadi mereka percaya bahwa Pilkada tidak akan mengubah apapun. Atau dengan kata lain, siapa pun yang menang, nasib tidak akan berubah. Jika pemain Pilkada, para calon gubernur atau calon wakil gubernur bisa membangun kepercayaan dengan pintar meramu isu dan pesan dalam gerakan kampanye, bukan tidak mungkin mereka bisa memanen suara dari orang-orang yang belum mengambil keputusan dan orang-orang yang semula tidak peduli Pilkada, tanpa memandang baju-baju primordial dengan sebelah mata.
Semoga saja pilihan rakyat bukan menjadi pilihan yang menjadi bumerang bagi kesejahteraan masyarakat jawa tengah. Berbagai pertimbangan memunculkan keyakinan tentang potensi para calon gubernur melenggang dengan mulus meskipun kerap kali diwarnai dengan kasus yang mewarnai pencalonannya, dari korupsi sampai kehidupan pribadi sang calon.
Rabu, 07 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar