Rabu, 27 Februari 2008

Coruption Hunter

Not to be back to the Future>Masa kini ada karena Tuhan menciptakan masa lalu dan masa depan. Di masa kinilah, masa lalu sekaligus masa depan dapat bertemu. Masa lalu hadir sebagai sejarah, sedangkan masa depan datang sebagai rencana.

Oleh karena itu, apa yang terjadi di masa kini dapat diprediksi berdasarkan refleksi dari masa lalu dan antisipasi ke masa depan.Bukan maksud hati ingin mendahului Allah SWT.Namun berkait dengan terus berjalannya waktu, tahun 2007 telah berakhir, berganti masa 2008. Inilah saatnya evaluasi, introspeksi apa yang telah terjadi, sekaligus memprediksi apa yang mungkin terjadi. Di negeri kampung maling, salah satu yang wajib dilakukan adalah mengevaluasi dan memprediksi agenda pemberantasan korupsi.

Evaluasi 2007

Penanganan korupsi tahun 2007 sebenarnya memberikan secercah harapan. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, 2007 mencatat makin banyak kasus korupsi pejabat negara yang terbongkar.

Harus diakui, kepemimpinan nasional terus mewacanakan agenda pemberantasan korupsi hampir di setiap kesempatan. Namun, tahun 2007 masih pula menggoreskan luka penanganan korupsi lagu lama.

Pertama, korupsi masih ditangani secara diskriminatif, tidak efektif pada elite yang mendapat beking kuat partai politik. Kedua, penanganan korupsi masih dibajak oleh praktik haram mafia peradilan. Ketiga, serangan balik para koruptor terus berupaya melemahkan lagi upaya pemberantasan korupsi.

Cara penanganan kasus korupsi nyata-tegas tebang pilih kasih. Memang semakin banyak pejabat negara yang menjadi pesakitan korupsi, tetapi pesakitan demikian tetap tidak menghilangkan nuansa diskriminasi. Komisi Pemberantasan Korupsi - yang mesti juga diapresiasi, karena memunculkan kegentaran korupsi - hanya dapat memeriksa sampai level gubernur atau mantan menteri, tidak lebih dari itu. Padahal, bukan berarti perilaku koruptif tidak dilakukan pada tingkatan yang lebih tinggi.

Pada level elite yang justru terjadi adalah penyelesaian korupsi "secara adat." Ingat perseteruan Yusril Ihza Mahendra dengan KPK, Pergulatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais tentang dana kampanye presiden 2004, serta gonjang-ganjing biaya perkara di MA, semuanya diselesaikan "secara adat" tanpa kejelasan penegakan hukum antikorupsi. Yang paling ironis, di penghujung 2007, KPK dibajak oleh DPR melalui pemilihan pimpinan KPK yang justru berani pasang badan untuk membela perilaku korup para politisi DPR.

Prediksi Korupsi 2008

Sebagaimana terjadi pada 2007 dan sebelumnya, pada tahun 2008 tetap akan ada empat wilayah yang sulit ditembus aksi pemberantasan korupsi: istana, cendana, senjata, dan pengusaha naga. Istana adalah lingkaran "ring satu" kekuasaan masa kini - tidak hanya bidang eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif; cendana adalah level elite kekuasaan masa lalu, senjata adalah para penguasa militer dan polisi, akhirnya pengusaha naga adalah para partikelir mahakaya, tidak hanya dari dalam negeri, namun juga perusahaan multinasional.

Pada 2008, selayaknya body guard yang seolah melindungi dengan serum backing politik demikian masih akan efektif menjadi perisai bagi pejabat untuk berlindung dari sergapan aksi pemberantasan korupsi. Seharusnya dugaan korupsi di mana pun diproses hingga tuntas tanpa intervensi dan negosiasi politik setitik nila pun. Namun, itulah sulit-rumitnya memproses dugaan korupsi di lingkaran istana.

Semua yang mempunyai kekuasaan nomor satu di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, akan mempunyai tiket untouchable, karena senyatanya bargaining politik sudah mengontaminasi upaya pemberantasan korupsi.

Setali tiga uang dengan dugaan korupsi di lingkaran Cendana. Ring satu kekuasaan masa lalu, sulit untuk ditembus. Tahun 2008, pengungkapan kasus korupsi Soeharto makin kehilangan momentum dan makin jauh dari penyelesaian yang tuntas.

Berkait dengan korupsi di lingkaran "senjata", kasus dugaan korupsi di lingkungan senjata masih mustahil menyentuh level para jenderal. Penanganan kasus korupsi, kalaupun ada, tetap akan mengorbankan level "Kopral" bukan "Jenderal". Wilayah untouchable keempat adalah pengusaha naga. Faktanya, pengusaha besar dalam dan luar negeri akan tetap sulit tersentuh upaya pemberantasan korupsi.

Untuk 2008, masalah hukum akan menghadapi tantangan lebih berat. Makin dekatnya agenda pemilu 2009 akan memperbesar potensi buruk kepentingan politik terhadap agenda penegakan hukum. Amat mungkin, tidak tertutup kemungkinan agenda pemberantasan korupsi menjadi pisau bermata dua.

Di satu sisi, tetap mengusung upaya baik menyelamatkan Indonesia dari praktik haram korupsi. Di sisi lain, korupsi berpotensi menjadi alat serang antartokoh politik, yang lebih terkontaminasi kepentingan politik untuk saling menjatuhkan - bukan agenda murni pemberantasan korupsi.

Mulai munculnya disharmoni kepemimpinan nasional pada 2007, amat mungkin akan terlihat lebih jelas pada tahun 2008. Ketidakkompakan demikian tentu akan sangat berpengaruh pada semua agenda reformasi, tidak terkecuali penegakan hukum. Akan banyak agenda penegakan hukum yang dipengaruhi kompromi kepentingan antara RI-1 dan RI-2. Negosiasi antarpartai politik akan lebih memengaruhi warna hukum.

Di parlemen, perdebatan undang-undang politik, khususnya tentang pemilu, akan menjadi primadona politik yang kasat mata mempertontonkan dagang sapi kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik. Itu artinya, political corruption kembali akan menjadi tantangan terbesar agenda negeri memberantas korupsi.

Dengan tantangan yang sedemikian berat, tidak ada kata lain selain berupaya keras menyelamatkan dua tandem lokomotif antikorupsi: KPK dan Pengadilan Tipikor.

Pembajakan KPK dan Pengadilan Tipikor harus dipatahkan. KPK dan Pengadilan Tipikor harus kembali didorong untuk menyentuh korupsi peradilan dan korupsi politik, utamanya di episentrum sel inti kanker korupsi: Istana, Cendana, Senjata, dan Pengusaha Naga. Hanya dengan demikian Indonesia masa depan akan terselamatkan dari Tirani.Hidup mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia ! Anjar

Selasa, 26 Februari 2008

Masa Depan BI harapan kami

Bank Indonesia (BI) di masa depan harus independen dan terbebas dari intervensi pihak ketiga. Kondisi ini sudah diterapkan di beberapa bank sentral di seluruh dunia.

"Kondisi yang terjadi saat ini, jangan sampai membuat BI diisi oleh kelompok tertentu atau BI harus menghindari partisan yang akan menghilangkan independensi BI itu sendiri".

saat ini memang BI belum sepenuhnya independen karena masih bersinggungan dengan kebijakan fiskal yang diatur pemerintah. Selain itu, sudah terlihat unsur politisasi dalam pencalonan Gubernur BI beberapa waktu lalu.

"Seharusnya, kalau seorang politisi mau masuk ke BI harus mundur dulu dari partainya. Jadi jelas, apakah dia duduk di DPR, partai politik atau institusi politik lain harus mundur dulu. Jika politisi aktif, BI kembali kehilangan independensinya".



Akhirnya ada dua calon kuat, kedua calon ini tidak mencerminkan kompetensi moneter. Sebab, keduanya tidak memiliki pengalaman maupun latar belakang yang memadai untuk mengatur perbankan dan mengelola moneter nasional.

"Pemerintah belum mengakomodir aspirasi masyarakat sehingga tidak berlebihan jika Presiden kembali mengajukan nama, terutama dari internal BI. Sebab menurut UU nama yang diajukan maksimal tiga orang".

Pengelolaan institusi moneter ke depan sangat terpengaruh oleh calon yang diajukan Presiden saat ini. Sedangkan kedua calon yang ada saat ini belum mampu menjembatani kebutuhan moneter nasional bahkan bisa saja mengacaukan kondisi yang sudah kondusif saat ini.

"Gubernur BI haruslah orang yang kompeten untuk membuat kebijakan moneter, memulihkan perekonomian sekaligus menjaga stabilitas kurs rupiah".

Yang terpenting adalah Presiden (Pemerintah) Harus terbebas dari segala bentuk intervensi serta dalam pemilihan calon yang tepat calon Gubernur BI tidak boleh seorang politisi aktif (Partisan). anjar

Minggu, 10 Februari 2008

Press Release

QUOVADIS SIKAP PASCA WAFATNYA MANTAN
PRESIDEN SOEHARTO
(Antara Kemanusiaan dan Keadilan)



5 hari berkabung telah berlalu.Indonesia berkabung dengan ditetapkan oleh pemerintah selama tujuh hari sebagai sikap terhadap wafatnya mantan presiden sebelumnya selama 32 tahun ini H.M Soeharto wafat dengan meninggalkan duka yang cukup mendalam,meskipun harus menyisakan berbagai kontroversi,duka bagi keluarga ataukah duka bagi seluruh bangsa Indonesia? Yang jelas duka ini bisa disikapi dengan berbagai persepsi, dapat dipersepsikan bahwa secara kemanusiaan, sebagai bangsa yang besar segenap rakyat harus dapat berbesar hati untuk merelakan kepergian mantan orang nomor satu di Era Orde baru tersebut dengan segala kelebihan dan kekurangannya ataukah hanya duka bagi keluarga dan orang-orang yang merasa telah terbantu pada waktu Soeharto berkuasa. Berbagai persepsi memang bisa saja muncul, tergantung darimana kita memandang, tapi bagaimanakah dengan rasa keadilan di masyarakat. Menjadi sebuah pertanyaan besar ke depan pasca wafatnya mantan Presiden Soeharto, mau dibawa kemana rasa keadilan? Akan dihentikan dan cukuplah sampai disini saja pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat ataukah masih akan berlanjut mengingat masih tertinggal berbagai persoalan termasuk persoalan hukum.

Dengan melihat kondisi dan situasi, kebingunganpun muncul seiring duka yang mengiringi telah usai, mau dibawa kemana sikap pasca wafatnya Soeharto. Menanggapi hal ini BEM KM UNDIP sebagai salah satu elemen gerakan mahasiswa bersikap:

1.Meminta dan menyerukan kepada seluruh rakyat serta pemerintah untuk membedakan antara rasa kemanusiaan dan keadilan, dimana secara kemanusiaan kita harus berbesar hati untuk melepas kepergian mantan Presiden Soeharto dengan segala kelebihan dan kekurangan, namun kita tidak dapat melepaskan tanggung jawab untuk tetap melanjutkan proses hukum kasus Soeharto untuk memenuhi rasa keadilan.

2.Menyerukan dan mendesak Pemerintah untuk mempercepat proses serta segera memutuskan hukum Soeharto.

Semarang, 9 Februari 2008

Senin, 04 Februari 2008

Reformasi Setengah Hati....?

Tampaknya dalam sejarah bangsa ini mahasiswa selalu menjadi alat pada elit dalam menggolkan usahanya. Baik itu secara sadar atau tidak mahasiswa selalu melakukannya dengan total. Contoh nyata adalah angkatan '66 dan '98. Betapa bersemangatnya para mahasiswa kala itu menurunkan tirani ORLA dan ORBA. Namun apa yang di dpat mahasiswa setelahnya aalah kosong. Tuntutan untuk melaksanakan reformasi di segala bidang hanyalah omong kosong para elit dan birokrat.

Jajnji-janji yang dikoarkan kala pemilu hanya menjadi angin lalu bagi mereka. Baik SBY-Mega-Gus Dur hanya bisa berjanji tanpa suatu realisasi yang nyata bagi rakyat Indonesia. Mereka lebih suka mengeluarkan kebijakan yang membantu mempertahankan bahkan menaikkan popularitas mereka. Korupsi tidak semakin berkurang malah terus beranak-pinak. Betapa mubazirnya reformasi yang digalang dan diusung mahasiswa. Kadang kita berpikir apa yang harus mahasiswa lakukan untuk bangsa ini.

Ingat Bung! Hampir 100 tahun bangsa ini bangkit melawan penjajahan.
Ingat Bung! Hampir 80 tahun pemuda bangsa ini beranjak merebut kemerdekaan.
Ingat Bung! Hampir 10 tahun reformasi berjalan.
Sekarang kita lihat apa yang ada di benak setiap anak bangsa. Adakah di hati mereka keinginan untuk berkorban demi sesama. Andaikan ada alat unutk melihat isi hati manusia yang sesungguhnya, biarlah para elit politik dan pejabat negara yang diperiksa, agar tahu mana orang yang benar-benar berjuang untuk bangsa ini. Lalu kita singkirkan orang-orang yang hanya jadi benalu bagi rakyat Indonesia.
Wahai wakil rakyat, engkau di sana terlunta-lunta mengemis harta. Kami di sini mahasiswa 'kan terus berjuang mengais asa demi bangsa Indonesia....
Ingat: Reformasi tak pernah mati, tapi bila reformasi terus berjalan setengah hati, yakinlah
bahwa mahasiswa 'kan bergerak 'tuk wujudkan revolusi...
HIDUP MAHASISWA INDONESIA!!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!!!