Rabu, 12 Maret 2008

BlowUp BLBI dimata MAHASISWA

Tidak diragukan lagi, skandal BLBI ini telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat sangat besar, yakni: Rp 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpangan penyaluran BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, Rp 84,842 (58,7%) dari penyimpangan penggunaan BLBI serta Rp 17,76 triliun (33%) dari penyimpangan penggunaan Rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blanket guarantee), yaitu rekening Pemerintah atas nama Menteri Keuangan di Bank Indonesia (Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, hlm. 26 dan 37). Bukan hanya itu, kerugian juga ditimbulkan akibat terkucurnya Rp 431,6 triliun untuk penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan, ditambah sedikitnya Rp 600 triliun sebagai pembayaran bunganya (Kwik Kian Gie, Interpelasi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia, hlm. 34).

Beban utang yang harus ditanggung oleh negara akibat skandal BLBI itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp 1000 triliun harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun – Rp 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini menyebabkan menurunnya kemampuan keuangan negara, khususnya dalam membiayai pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ironisnya, sebagian dari pengemplang dana BLBI itu kini justru masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia dimana kekayaan 150 orang terkaya (versi Globe Asia 2007) mencapai US$ 46,6 miliar atau Rp 438 triliun. (Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, hlm. 262).


Semua Turut Andil

BI, sebagai bank sentral yang menjalankan fungsi lending of the last resort, bertindak ceroboh. Hasil Audit BPK dan BPKP menunjukkan sebagian besar penyaluran BLBI oleh BI sekitar 95,8% dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pada tahap penyelesaian BLBI, korupsi terjadi lagi dan menimbulkan skandal baru. Obligor sengaja menyerahkan kepada BPPN aset-aset yang tak layak, di bawah nilai pinjaman, dan bahkan fiktif sebagai jaminan pelunasan kewajiban mereka. Menurut audit BPK, dari Rp 132,7 triliun aset yang diserahkan, nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun. Kurang dari 10%! Sudah begitu, melalui kolusi dengan pejabat BPPN, SKL (Surat Keterangan Lunas) dengan mudah diberikan kepada obligor meskipun mereka hanya membayar sebagian kecil kewajibannya (rata-rata hanya sekitar 28%). Salim Group hanya mengembalikan dana sekitar 36,77% dari dana BLBI lebih dari Rp 25 triliun. Dengan kelihaiannya, tentu melalui kolusi dengan pejabat terkait, pemilik lama bisa membeli kembali asetnya yang sudah diserahkan kepada Pemerintah. Bahkan dengan harga sangat murah. BCA, misalnya, direstrukturisasi dengan obligasi sebesar Rp 60,9 triliun, namun 51% sahamnya dijual hanya Rp 5,3 triliun. Ironinya, menurut Kwik, keputusan jahat seperti ini dibuat dalam rapat kabinet. Semua peserta rapat—Presiden Mega, Wapres Hamzah Haz, termasuk SBY dan Yusuf Kalla serta Boediono—menyetujui keputusan aneh ini. Hanya Menteri Kwik saja yang menolak. Bukan hanya BCA, TPN (milik Humpuss) yang merupakan pembayar atas utang Humpuss senilai Rp 4,576 triliun dijual kepada Vista Bella (ditengarai juga terafiliasi Humpuss) senilai Rp 521 miliar saja.

Kekacauan penyelesaian skandal BLBI makin menjadi-jadi dengan dihapusnya aspek pidana obligor yang telah memperoleh SKL melalui pemberian fasilitas R&D atau Release and Discharge (pelepasan dan pengapusan) berdasarkan Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memulai penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement. Sekarang, Presiden SBY tidak tegas terhadap 8 obligor, bersedia menegosiasikan JKPS dan bahkan sempat menyambut obligor di Istana.


Intervensi Asing

Semua kekacauan dan kebodohan luar biasa ini, di samping akibat kesalahan Pemerintah, juga amat dipengaruhi oleh tindakan IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya LOI, IMF bebas melakukan intervensi, mencampuri dan memaksakan kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah melalui LOI dan Memorandum on Economic and Financial Policies. Tercatat, terdapat sekitar 1.300 butir kesepakatan LOI yang harus diimplementasikan Pemerintah. IMF telah memberikan rekomendasi ekonomi, bukan hanya salah tetapi menjerumuskan, yang akibatnya justru memperparah krisis. IMF, misalnya, menekan Pemerintah untuk mengucurkan obligasi rekap dalam jumlah besar kepada pihak perbankan (melalui desakan target penguatan CAR minimal 8%). Lalu, IMF menekan Pemerintah untuk segera menjual bank-bank rekap (antara lain BCA dan BDNI) dalam waktu singkat sehingga harga jualnya sangat rendah seperti yang dijelaskan di muka.
dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: